Langsung ke konten utama

Saatnya bercerita

telling the world

Tidak semua orang bisa bercerita tentang masalah yang dihadapinya. Tidak semua orang dapat mengekspresikan  apa yang dia rasakan. Banyak yang bilang jika sedih jangan dibagi, jika senang disebarkan. Tidak sedikit yang beranggapan cerita sedih hanya membuat kesusahan pada lingkungan sekitar.

Maaf, saya bukan orang seperti itu. Saya bukan orang yang bisa menyimpan sesuatu sendiri.Saya malah lebih sanggup tidak menceritakan kebahagiaan dibandingkan harus berdiam tentang kesedihan. Mungkin untuk sebagian orang hal ini tidak dibenarkan, namun untuk saya ini adalah salah satu jalan keluar dari masalah yang saya hadapi.

Bercerita adalah salah satu cara saya untuk mengurangi beban hati. Bercerita adalah salah satu cara saya mengenal lebih jauh tentang jati diri. Bercerita adalah saatnya mendapatkan masukan dan cara pandang dari sisi yang berbeda. Lantas dengan bercerita kita jadi ember? Tentu saja tidak. Dibutuhkan keterampilan lain untuk mengenali kepada siapa kita harus bercerita, sehingga kita tidak sia-sia setelah bercerita nanti atau malah mendapatkan masalah baru dengan bercerita.

Berkaca dari pengalaman pribadi, saya selalu memilah-milah kepada siapa saya bercerita.Setiap orang punya kapabilitas yang berbeda untuk tiap masalah. Orang yang mengenal kita serta dapat dipercaya adalah syarat lain yang diperlukan untuk mencari tempat bercerita.Orang tersebut adalah orang terdekat kita: keluarga.

Memang tidak semua dapat diceritakan kepada keluarga, karena mereka tidak berkecimpung pada kegiatan kita diluar rumah. Namun setidaknya mereka diinformasikan sedikit tentang apa yang sedang kita lakukan atau masalah apa yang sedang kita hadapi. Akan sangat menyakitkan bagi seorang ibu saat melihat mata anaknya bengkak karena menangis semalaman tanpa mengetahui sebab mengapa anak tercintanya menangis. Mudah-mudahan saya tidak menjadi ibu yang demikian.

Mari mulai bercerita, mari mulai berbagi, sebagai ajang untuk mengenali diri.


Ismicitra
*blog adalah teman cerita paling oke*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berobat kulit ke dr. Inong, part 2: Peeling session

Setelah lebih dari satu bulan bermain-main dengan krim pagi  dan malam, kini saatnya kembali untuk  chemical peeling   alias pengelupasan kulit dengan bahan kimia (obat). Kunjungan kedua kali ini saya pilih    Jumat. Tiba di RS restu jam 15.00 dan mendapat urutan 50. Lumayan, hanya nunggu sekitar 2 jam akhirnya tibalah giliran saya. Ada sekitar 6 tempat tidur dengan satu kipas angin kecil di masing-masing tempat tidur. Sebelum pengelupasan, wajah kita dibersihkan dulu oleh asisten   dengan cairan berbau seperti alkohol, dan mulailah obat itu dioleskan oleh dr. Inong sendiri. Awalnya terasa dingin, namun beberapa saat kemudian....." ouch "    ….panas dan perih sekitar 5 menit dan kipas angin ini sangat membantu untuk mengurangi rasa sakit.  Tenyata pengolesan itu diulangi lagi setelah 15 menit....*dooh  double ouch *, tapi bener kok cuma sebentar, dan setelah tidak terasa panas lagi sang asisten akan mengoleskan krim, dia menyebutkan sih nama dari krim itu tapi sepertinya

Tips Berobat Kulit ke dr. Dewi Inong I spKK

Setelah menjalaninya saya tertarik untuk menuliskan tips untuk rekan-rekan yang akan berobat kulit ke beliau, supaya tidak salah langkah. Sekilas tentang dr. Inong (begitu saya panggil beliau) dapat dilihat di sini , bukan bemaksud promosi :P, namun beliau terkenal ramah dan murah untuk perawatan kulitnya. Beliau praktek di Permata Cibubur dan RSIA Restu, Kramat jati, saya akan berbagi untuk yang di Restu Datang pagi, benar-benar pagi. Pendaftaran dimulai jam 7.00 ,tdak boleh lewat telpon dengan biaya Rp. 85.000,- dan terbatas hanya 60 orang :O….Saya tiba di sana jam 8.10, dan alhasil dapat no. 68….ini berhasil karena no yang muda banyak yang gak datang. Setelah daftar di loket, jangan lupa daftar ulang di perawat depan kamar dr. Inong , karena akan dipanggil berdasarkan urutan di perawat bukan di loket. Bawa sarapan, cemilan dan makan siang serta air minum . Tidak ada kantin, hanya ada ibu penjual makanan kecil yang terbatas, dan suasana di sana panas, jangan

Kisah seorang pencuri foto

Kisah ini di mulai dari foto di atas. Saat melihat pertama kali, langsung jatuh hati pada foto berjuta makna ini. Foto ini dtemukan di salah satu jejaring sosial, pemiliknya adalah teman dari teman, aku sendiri tidak mengenalnya. Biasanya, jika mengambil foto pribadi, aku akan minta ijin dulu ke pemiliknya, tapi mengapa untuk foto ini aku agak takut dengan pemiliknya hehehe. Berikut kronologis perjalananku bersama foto ini, yang aku beri judul “Memandang ke Depan”: 19 Agustus 2010 : aku grabbed foto ini tanpa ijin, tapi ternyata merasa bersalah, dan berasa seperti pencuri, huuu gak enak 23 Agustus 2010 : akhirnya memberanikan diri untuk kirim message ke sang pemilik yang intinya minta ijin….sampai sekarang belum dijawab juga 2 Sept 2010 : sepertinya tidak akan dapat ijin resmi dalam waktu dekat, mungkin sekitar 20 tahun lagi hehehe *hopeless*….aku beranikan diri untuk mengirim message yang sama ke FBnya…no response until now 19 Sept 2010 :Dia: “biarkan kami mensyukuri hid